Kamis, 10 November 2011

Berkaca Dari Kasus Iqbal Sabarudin


Nama Iqbal Sabarudin, seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung yang aktif juga di Himpunan Mahasiswa (Hima) Persatuan Islam (Persis) Bandung, menjadi menasional. Namanya mendadak terkenal akibat ulahnya pada saat upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda ke 83 di Lapangan Siliwangi Bandung, Jumat (28/10), dimana Wakil Presiden, Budiono, Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora), Andi Malarangeng, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, Wakil Gubernur Jabar, Dede Yusuf dan tamu undangan lainnya tengah khidmat mengikuti hari bersatunya tekad pemuda 83 tahun lalu untuk memiliki tanah air, satu bangsa, satu bahasa, I n d o n e s i a.
Iqbal secara atraktif mengacungkan sebuah karton bertuliskan tiga tuntutan kepada pemerintah SBY-Budiono. Di hadapan para pemimpin generasi muda aksinya itu menuai pukulan dan tendangan dari Pasukan Pengawalan Presiden (Paspampres) dengan dalih melumpuhkan pelaku gangguan. Hingga menyebabkan Iqbal harus dijahit sebanyak 5 jahitan. 
 Publik sontak kaget. Terkejut melihat aksi Iqbal dan aksi Paspampres di hadapan ribuan orang, ditayangkan sejumlah media cetak maupun elektronik. Diperdengarkan lewat radio dan diskusi-diskusi di warung kopi. Pro dan kontra muncul atas ulah Iqbal maupun tindakan refreshif aparat keamanan terhadap anak muda yang ingin menyalurkan unek-uneknya sebagai anak bangsa.
Sebagian publik merasa terwakili dengan aksinya Iqbal tersebut. Dimana berbagai cara dan media sudah sudah ditempuh publik untuk mengingatkan para pemimpin kita supaya berpihak pada rakyat, berpihak pada kepentingan Negara, namun publik merasakan bahwa saluran-saluran tersebut mandeg, tersumbat, terkadang bias. Karenanya cara yang paling efektif adalah dengan menyampaikannya langsung ke RI 1 atau RI 2.   
Sebagian lagi mengutuk tindakan refresif Paspampres. Namun ada juga pihak yang menyalahkan langkah Iqbal dan memuji tindakan Paspamres. Dikatakannya bahwa Paspampres sudah bertindak sesuai prosedur yang baku, sesuai SOP.
Gubernur Ahmad Heryawan, wagub Dede Yusuf, Menpora Andi Malarangeng adalah pemimpin muda. Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Muhaimin Iskandar juga pemimpin muda yang dalam salah satu survey disebut-sebut memiliki nilai merah. Sehingga sebagian orang ragu bahkan tidak percaya pada pemimpin kalangan muda. Mereka masih meyakini kalangan tua yang berpengalaman lebih pantas untuk memimpin negeri ini tanpa mempertimbangkan bahwa generasi tua itulah yang mewariskan sejumlah kultur buruk pada generasi baru ini, mereka berperan dalam melahirkan politisi busuk di negeri ini.
Sebenarnya masih banyak pemuda yang baik, terpelajar, cerdas dan peduli pada bangsa dan Negara ini tapi keberadaannya kini tenggelam di tengah hiruk pikuk dunia gemerlap atau bahkan terkubur di tengah kerasnya kehidupan. Namun harus diakui bahwa pemuda masa depan yang akan menjadi pemimpin di negeri ini harus diuji, ditempa dengan berbagai cobaan dan ujian untuk membuktikan jati dirinya sebagai pemimpin yang berkarakter, cinta bangsa, cinta tanah air, memiliki nasionalisme yang tinggi, kokoh dan berkepribadian. Tidak mudah tergoyah oleh godaan materi apapun demi bangsanya, demi negaranya, demi rakyatnya.
Jika kriteria tersebut yang dijadikan patokan maka kita sebagai bangsa harus mencarinya dengan susah payah. Bak mencari jarum di tengah tumpukan jerami.    Karena yang kita lihat sekarang tidak sedikit generasi muda yang awalnya idealis, patriotis, nasionalis. Namun ketika kekuasaan dan harta di tangannya nampaknya sifat-sifat tadi hilang. Idealisme, patriotisme, nasionalisme hilang entah kemana. Yang ada adalah sifat dan perilaku pragmatisme dengan mengambil untung untuk diri sendiri tanpa memperdulikan rakyat, bangsa dan Negara. Akibatnya kekayaan Negara tergadai tanpa bisa dinikmati bangsa sendiri.  Bak ayam mati di lumbung padi.
2014 adalah waktu yang tidak jauh di hadapan kita. Rakyat kembali akan menyalurkan aspirasinya,memilih pemimpinnya. Hati-hati(***)