Rabu, 13 April 2011

“METODE INOVASI BELAJAR MENULIS DAN MEMBACA SEBAGAI SOLUSI UNTUK PEMBERANTASAN BUTA AKSARA”

Pembangunan nasional bidang pendidikan pada dasarnya merupakan komitmen pemerintah dalam rangka melaksanakan amanat rakyat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.  Secara eksplisit amanat tersebut tercantum dalam Mukadimah UUD 1945 dan menjadi arah dan dasar kebijakan pembangunan pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 25 tahun 2000  tentang Program Pembangunan Pendidikan Nasional.
            Secara bertahap dan berkesinambungan pemerintah berupaya meningkatkan taraf pendidikan masyarakat dalam rangka mencerdaskan bangsa untuk memenuhi amanat UUD 1945 pasal 31, yang menyebutkan bahwa : “Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan”. Demikian pula pemerintah melakukan berbagai upaya perluasan dan pemerataan kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (GBHN, 1999 - 2004; UU No. 25, 2000).
            Tingkat pencapaian program pembangunan pendidikan untuk meningkatkan taraf pendidikan masyarakat secara umum bisa diukur melalui perubahan dan perkembangan tingkat pendidikan masyarakat yang berhasil dicapai pada periode tertentu. Hasil pembangunan pendidikan masyarakat dapat dilihat melalui beberapa indikator output pendidikan, antara lain angka buta aksara, rata-rata lama sekolah (mean years of schooling) dan tingkat/jenjang pendidikan yang ditamatkan.  
                          Penduduk buta huruf adalah penduduk (usia 15 tahun keatas) yang tidak dapat membaca dan menulis huruf latin yang masih merupakan keterampilan dasar yang diajarkan di kelas-kelas awal jenjang pendidikan dasar / SD. Sensus kependidikan/BPS tahun 2003 angka buta huruf penduduk Indonesia usia produktif ( usia 15 – 45 tahun) adalah : 6,06%, tahun 2006 : 8,68%, tahun 2008 : 7,81% dan tahun 2010 diperkirakan naik menjadi di atas 9%. Sedangkan persentase penduduk perempuan menunjukkan angka lebih banyak dibanding penduduk laki-laki, kondisi ini menggambarkan bahwa taraf pendidikan perempuan belum setara dengan laki-laki.   Hal ini diduga akibat konstruksi sosial  yang  terbentuk  di  masyarakat.   Pentingnya membaca telah menjadi perhatian Ki Hajar Dewantara tokoh politik, pendidikan dan pendiri Taman siswa (1937). Tahun berdirinya Taman siswa, merupakan tonggak sejarah pencanangan pemberantasan buta huruf di Indonesia.
                        Demikian disadari, bahwa pendidikan suatu bangsa sangat mempengaruhi kualitas suatu bangsa, maka meningkatkan pembangunan sektor pendidikan menjadi bagian yang sangat penting. Lembaga dunia (UNDP) menjadikan angka buta huruf sebagai parameter untuk mengukur/menentukan kemajuan suatu bangsa, laporan yang dikeluarkan oleh UNDP, Human Development Index (IPM), Indonesia berada pada peringkat 111 dari 177 negara. Hal ini tentu sangat memprihatinkan kita semua. Yang lebih memprihatinkan lagi, dibanding dengan negara ASEAN, Indonesia berada di atas Vietnam (yang kita tahu negara itu baru saja bangkit setelah dilanda perang saudara yang betrkepanjangan.
            Masalah pendidikan sekarang sudah menjadi isu global. Artinya banyak negara menyadari bahwa masalah pendidikan ini bukan lagi masalah domestik, namun harus dipecahkan bersama.   Hasil forum pendidikan dunia yang diselenggarakan di Dakkar mengenai Pendidikan Untuk Semua (PUS) adalah bukti untuk hal tersebut. Beberapa poin penting yang disepakati dalam pertemuan tersebut sebagai kerangka aksi komitmen pemerintah berbagai negara dan masyarakat internasional. Yaitu :
1.      Perluasan dan peningkatan secara menyeluruh pendidikan dan perawatan bagi anak usia dini.
2.      Memastikan bahwa pada tahun 2015 semua anak (terutama golongan minoritas, anak kurang beruntung memperoleh akses dan dapat menyelesaikan pendidikan dasar yang bermutu secara gratis.
3.      Tercapainya peningkatansebesar 50 persen dari angka melek aksara orang dewasa (terutama perempuan) pada tahun 2015 dan akses yang sama terhadap pendidikan dasar dan pendidikan berkelanjutan bagi semua orang dewasa.
4.      Memastikan bawa kebutuhan belajar dari semua pemuda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang merata terhadap program pembelajaran dan kecakapan hidup.
            Dengan penuh percaya diri pemerintah Indonesia, Mendiknas Prof.DR Bambang Sudibyo   bertekad menurunkan angka buta aksara hingga tahun 2009. (lebih cepat 6 (enam) tahun dari kesepakatan Dakar.   Dengan target tersebut Tahun 2007 disediakan anggaran 1,25 triliun rupiah, tahun 20-11 sebesar 1,5 triliun rupiah dengan strategi dan harapan pemberantasan buta aksara, tidak sekedar mengajarkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung serta berbahas Indonesia; tetapi juga memilki makna yang luas yaitu sebagai cara peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin agar mereka menjadi insan yang cerdas, sehat produktif dan mandiri.
            Kantong buta aksara yang mendapat prioritas di Indonesia, adalah sebanyak 81% lebih terkonsentrasi di sembilan propinsi, yakni Jawa Timur, Jawa barat, Banten, alimantan Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat/Timur dan Papua Sedangkan sisanya dibagi rata di propinsi lainnya.  Apakah pasca pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu periode pertama target tersebut tercapai ?
            Bila melihat laporan pemerintah yang diterbitkan pada jurnal dan data statistik mungkin hasil pencapaian kerja keras pemberantasan buta aksara mencapai sasaran. Namun bila kita terjun ke lapangan, ternyata keadaan berbeda.  Tidak mengherankan jika kita melihat data statistik satu instansi dengan instansi lain terkadang ada perbedaan. Indonesia dikenal sebagai pengguna “rubber statistic”. Berbagai sanggahan dan saling menyalahkan untuk memperkuat jawaban masing-masing, membuat masyarakat menjadi bingung.
Pendataan tidak maksimal karena kurannya anggaran atau perbedaan metode pendataan adalah alasan yang pasti dan klasik. Namun tidak dapat disangkal lagi, bahwa penyimpangan anggaran oleh pelaksana dan manipulasi data (kesengajaan aparat) merupakan hal yang sering ditemui.  Tidak disangkal,  iming-iming penghargaan bagi Pemda yang berprestasi justru memacu aparat dengan sengaja memanipulasi data/ menyembunyikan kondisi sebenarnya di lapangan
Berkenaan dengan buta huruf dan budaya membaca, tahun 1964 para tokoh kependidikan dari 30 negara di lingkungan Asia Pasifik sepakat mendirikan asosiasi regional non pemerintah  Asia South Pasific Bureau for Adult Education / ASPBAE yang beranggotakan lebih dari 200 anggota organisasi.  Akhir bulan Desember 2004 dalam memperingati hari jadinya yang ke 40, ASPBAE melaksanakan berbagai kegiatan antara lain : seminar dan lokakarya di Yogyakarta dan pada akhir acara telah menyimpulkan, bahwa hasil yang dicapai dari program bersama; yaitu pemberantasan buta huruf menunjukkan “hasil yang tidak memuaskan”/gagal.  Sebagai tindak lanjut untuk mengatasi masalah tersebut adalah mencari strategi baru untuk memberantas buta huruf”  ( Harian KOMPAS  tg 24 Desember 2004).  
Sementara faktor yang diduga menjadi penyebab tingginya angka buta huruf di Indonesia yang selalu dikemukakan secara klasik a.l. “kurangnya anggaran pendidikan, kurangnya tenaga pengajar, kemiskinan, daerah terpencil dan budaya masyarakat”.
Prediksi/ hasil analisis tersebut tidaklah tepat /benar seluruhnya.  Fakta menunjukkan : berapa ratus persen tenaga guru, anggaran biaya program pemberantasan buta aksara yang dari tahun ketahun ditingkatkan, namun tidak menunjukkan hasil yang memuaskan dan justru angka buta aksara bertambah setiap tahunnya, demikian pula di kota-kota besar penyandang buta aksara  cukup banyak.
Penyebab yang diprediksi tersebut di atas merupakan faktor yang menyebabkan kegagalan pembangunan pendidikan secara umum dan bukan spesifik sebagai penyebab gagalnya pemberantasan buta aksara. Pengalaman kegiatan sosialisasi pendidikan di lapangan (kantong buta aksara) sejak tahun 2005, kami menyimpulkan, bahwa faktor utama penyebab gagalnya pemberantasan buta aksara selain lemahnya komitmen pemerintah yang tidak utuh, juga karena  “metode pembelajarannya” yang tidak efektif & tidak efisien.
Semestinya pola pembelajaran terus berkembang sejalan dengan kemajuan riset, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dinamis, baik dilakukan melalui lembaga formal, non formal maupun inisiatif individu/kelompok yang peduli pada bidang pendidikan. Diharapkan kreatifitas akan menghasilkan perubahan pandangan dan penemuan-penemuan baru (inovasi) yang positif bermanfaat bagi masyarakat.  Temuan inovatif yang teruji, hendaknya mendapat apresiatif, terutama dari pemangku kepentingan.
Terkadang kita (Indonesia) terlalu terpukau dengan penemuan-penemuan dan produk berlabel “luar negeri” (import minded), menganggap sesuatu yang datangnya dari luar lebih baik dalam segalanya, dalam kenyataannya tidak selalu benar. Penulis menduga, hal tersebut sebagai akibat hilang/tidak mempunyai rasa percaya diri. Harus disadari bersama, bahwa hal tersebut akan merendahkan derajat/martabat bangsanya sendiri, sekaligus mengakarnya sifat ketergantungan yang sangat merugikan bangsa sendiri.    Pada kenyataan banyak anak bangsa yang berprestasi mendahului bangsa lain, dan justru mendapatkan pengakuan/penghargaan masyarakat internasional daripada bangsa sendiri. Tidak kurang dari 300 orang peneliti orang Indonesia yang bekerja untuk negeri tetangga Malaysia.
Angka melek huruf, minat baca, jenjang sekolah yang ditamatkan (means year of schooling) dijadikan parameter, oleh lembaga dunia seperti UNDP, UNESCO, UNICEF, WHO dll. untuk mengukur, menilai indeks pembangunan Manusia (IPM). Maka negara-negara maju/donor memberikan bantuan dana (pinjaman/grant) untuk program pemberantasan buta huruf yang tidak sedikit jumlahnya.  Tetapi mengapa angka buta huruf masih tetap tinggi ?  apa yang salah ?   
Penulis sebagai anak bangsa yang peduli pendidikan, berupaya dengan senang hati mencoba “memberikan respons yang positif terhadap kondisi yang negatif kepada negara dan bangsa Indonesia yang sedang mengalami kemunduran dan ketertinggalan dalam berbagai bidang, (termasuk bidang  pendidikan ). Kontribusi/sumbang gagas/pemikiran diharapkan mendapat respons positif dari seluruh komponen bangsa yang bertanggung jawab khususnya untuk pembangunan pendidikan Lebih jauh berharap, bila manfaat kreatifitas tersebut dapat dilihat/dirasakan manfaatnya secara nyata oleh bangsa Indonesia, dapat dijadikan sumbangan pula sebagai sumbangsih bangsa Indonesia untuk pendidikan universal. 
      Sejak tahun 2005 telah mencoba melakukan pendekatan pada salah satu bagian kecil dan mendasar, yaitu tentang keaksaraan dan metode pembelajarannya, yang diprediksi sebagai penyebab gagalnya program pemberantasan buta huruf, baik di dalam negeri maupun luar negeri (universal).
Dengan memanfaatkan waktu luang penulis mencoba membuat disain metode aplikasi pembelajaran menulis/membaca, melakukan uji coba (try out) ke beberapa daerah untuk menguji validitasnya.   Sangat bersyukur, bantuan dari berbagai pihak : para Kepala sekolah Negeri/Swasta, Kelompok Ibu -Ibu PKK, Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli pada dunia pendidikan, individu/Orang tua siswa didik;  akhirnya secara sah telah mendapatkan Hak Cipta dari Departemen Hukum dan HAM ( diakui sah oleh pemerintah), dengan nama metode “Gerak & Imajinasi”, diterbitkan pertama kalinya oleh penerbit PT. GRASINDO dan mendapat nomor ISBN ( International Standard Book Numbering ):  979-732-945-3 , Tahun 2010 diterbitkan oleh KAIFA (Group Mizan) .
              Metode inovasi (baru dan berbeda) dalam penerapannya merupakan sinkronisasi fungsi otak kiri dan otak kanan.    Pendapat para ahli, menyatakan, bahwa sinkronisasi fungsi otak akan mengoptimalkan fungsi otak secara keseluruhan. Metode sejenis yang sudah dikenal masyarakat umum antara lain metode pembelajaran aritmatika (sempoa), dengan/tanpa alat siswa dapat menunjukkan kemampuan berhitung yang luar biasa. Hal tersebut menunjukkan, bahwa kemampuan imajinasi demikian luar biasa.

 Siswa didik yang mendapat pelatihan/ pembelajaran menulis dan membaca dengan metode inovasi tersebut, dalam waktu yang relatif sangat singkat dapat  merespons dengan baik dan menunjukkan kemampuan yang lebih dibanding dengan menggunakan metode konvensional (yang dianut sekolah-sekolah formal/non formal).         
 Pembelajaran baca-tulis yang diawali kemudahan, akan memotivasi siswa untuk belajar dengan senang dan mandiri. Terlebih bagi anak, dunia mereka adalah “dunia bermain”, maka hendaknya pembelajaran yang baik dapat menyesuaikan dengan dunianya. Belajar disusesuaikan dengan kondisi psikologis dan tidak menimbulkan perasaan tertekan yang dapat mengakibatkan trauma.
 Hasil try-out di lapangan semakin mengukuhkan kesimpulan penulis, bahwa yang menjadi faktor kegagalan pemberantasan buta huruf adalah “metode” pembelajarannya yang tidak tepat/tidak efektif dan tidak efisien.   Dengan demikian alasan “klasik” yang selalu mengemuka (kurangnya tenaga pengajar, kurangnya anggaran, budaya masyarakat, daerah terpencil dan kemiskinan) adalah keliru ?
              Sebaik apapun metode inovatif, tidak akan bermanfaat bagi masyarakat luas jika pemerintah sebagai pemangku kepentingan tidak selektif, kurang membuka diri dan memberi kesempatan kepada kreativitas dan inovasi yang dikembangkan dan teruji.
  Perbedaan dan Keuntungan Menggunakan metode Inovasi (Gerak & Imajinasi) antara lain :
~* Sinkronisasi fungsi otak kiri dan otak kanan terbukti mengoptimalkan fungsi otak secara keseluruhan, menajamkan daya ingat dan kemampuan berkonsentrasi (motorik halus dan photografic memorie), sehingga siswa belajar secara efektif & efisien ;
~* Awal belajar, siswa mendapatkan arahan yang singkat, jelas dan mudah difahami, diaplikasikan dengan mudah; sehingga dapat memotivasi  siswa untuk belajar secara mandiri.
~* Awal belajar menulis siswa diperkenalkan dengan cara yang relatif mudah, yaitu belajar menulis huruf cetak besar (capital letter), dengan pertimbangan bahwa huruf cetak besar terdiri dari dua macam garis (garis lurus dan garis lengkung), sehingga secara teori/praktik menulis huruf besar tingkat kesulitannya relatif lebih rendah dibanding dengan menulis huruf cetak kecil/huruf sambung;
~* Waktu dan tenaga pembelajaran yang lebih cepat/singkat, mengurangi beban psikis (jenuh/bosan) siswa didik  dan penghematan biaya/anggaran yang harus dikeluarkan;
~* Kemudahan pembelajaran, pelatihan, akan membuka peluang bagi seluruh lapisan masyarakat untuk berperan sebagai pengajar, tutor/tendik (tidak memerlukan spesifikasi pendidikan yang tinggi/khusus), diharapkan membantu program pemerintah untuk percepatan pemberantasan buta huruf sekaligus membuka lapangan pekerjaan yang baru;  memudahkan pelayanan pengajar ke daerah terpencil;
~* Keterampilan motorik halus / pemahaman cara menulis menulis huruf latin memudahkan siswa didik untuk belajar menulis huruf  hija`iyah  (Arab) dan lainnya.
 Pemberdayaan kaum perempuan
 Peran orang ibu dala rumah tangga sangat penting. Suksesnya sebuah keluarga sangat ditentukan peran seorang ibu. Jika seorang ibu  dapat memahami dan mau melaksanakan tugas dan tanggung jawab dalam mendidik dan mengarahkan anak dengan baik, dengan segala tuntunan dan keteladanan pada anak. Insyaallah akan akan terlahir generasi anak yang unggul, mumpuni, mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan kehidupannya kelak Sebagaimana Allah berfirman, “Dan hendaklah takut kepada Allah SWT,  orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak- yang lemah, mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah SWT dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar“ (an-Nisa:9).   Demikian pula hadist Rasulullah SAW, yang menerangkan betapa sangat tinggi dan terhormatnya keberadaan dan peran ibu dalam rumah tangga/bagi anak.  Jika hal tersebut benar-benar difahami, maka program pendidikan masyarakat hendaknya dapat meningkatkan pemberdayaan komponen bangsa agar lebih proaktif;  sehingga partisipasi dan hasil pembangunan pendidikan akan lebih optimal.
 Baru sebagian kecil masyarakat / orang tua siswa didik yang berperan dan peduli dalam pembelajaran menulis dan membaca, bila peran mereka dioptimalkan akan menumbuhkan kader-kader manusia yang cerdas.    
              Menulis dan Membaca Adalah Urat Nadi Peradaban dan Menjadi Ciri Budaya Masarakat Maju.             
 Membaca dan menulis merupakan hierarki level/kebutuhan dasar dalam tahapan tumbuh kembang kemampuan berkomunikasi. Untuk dapat membaca dan menulis diperlukan kematangan tahap kembang, seperti kematangan biologi / motorik, kognitif dan emosi.  Bagi individu manusia, membaca akan meningkatkan kepintaran juga kecerdasan. Menjadikan seseorang tercerahkan, karena makin bertambah wawasannya dan pada galibnya memahami  kehidupan.   
Para Imajinator dan pencerah masa depan lahir terus menerus di pelbagai penjuru dunia. Orang besar, agamawan, filsuf, kaum cerdik pandai, penemu  & penemuan baru, kemajuan iptek harus lahir terus menerus karena keterbatasan SDA dan pertumbuhan / populasi penduduk bumi.  Mengapa demikian ?, tidak lain adalah telah tumbuhnya kebiasaan membaca yang tinggi dan berakibat tumbuhnya budaya menulis, meneliti dan mencintai ilmu pengetahuan. Kebudayaan membaca akan mengantar orang untuk memenangi masa depan, hingga pantas saja dikatakan penemuan buku cetak yang disertai tradisi membaca dan menulis merupakan pencapaian kultural yang berimplikasi dahsyat (Karlina Lelono dalam symposium Internasional Membangun Industri Penerbitan di Indonesia - yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia, Pebruari 1999).
              Banyak orang mengetahui  manfaat dari membaca, sayangnya sebatas disadari dan belum menjadi kebiasaan.   Minat bangsa kita masih sangat rendah, tertinggal dibanding negeri-negeri tetangga.  Yang lebih memprihatinkan, rendahnya minat baca dapat kita temui di lapisan menengah yang lebih terdidik, sehingga manfaat langsung maupun tidak langsung dari investasi besar media baca belum terasakan. (minat baca masyarakat bangsa Indonesia peringkat di bawah Vietnam ).    
Parameter yang dipakai untuk mengukur minat / budaya baca adalah jumlah tiras seluruh surat kabar per kapita penduduk dan jumlah judul buku yang diterbitkan. UNESCO statistical Year Book 1993 tg 10 Mei 1996 berjudul“Indonesiaku Kurang Buku “ menunjukkan tiga kenyataan  :  Ketika kita berbicara tentang budaya membaca dan mulai membanding-bandingkan dengan negara lain, maka yang muncul adalah perasaan minder sekaligus penyesalan.   Sekarang, masalahnya apakah kita akan terus menyesali kondisi betapa keringnya budaya baca bangsa kita.   Atau kita lebih memilih menempatkan kondisi tersebut sebagai sesuatu yang tidak given-taken for granted, sehingga ada optimisme jika kita mau melakukan perubahan. ?
Angka buta aksara selalu dijadikan sebagai parameter untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan suatu bangsa (IPM), demikian juga menjadi isu sosial (karena pendidikan merupakan kewajiban pemerintah dan hak bagi setiap warga negara) . Maka kalau pemerintah/aparat kurang merespons masalah pembangunan pendidikan, khususnya buta huruf secara positif, dikhawatirkan  pandangan  dan isu sosial akan semakin menambah pandangan yang kurang baik terhadap kinerja pemerintah secara umum / keseluruhan.
  Gagasan Sosialisasi  dan Meningkatkan  Peran / pemberdayaan Seluruh  Komponen  Bangsa perlu mendapat respons seluruh komponen bangsa, karena maju mundurnya pembangunan pendidikan adalah menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa
Namun seperti kita ketahui, sekalipun kementerian Pemberdayaan Perempuan sudah ada sejak pemerintahan Orde Baru, namun tampaknya program pemberdayaan perempuan masih belum mendapat dukungan yang optimal dari kementerian lainnya; sekalipun sudah diterbitkan SKB Bersama untuk program pemberdayaanh kaum perempuan.
Kondisi dan kemampuan pemerintah dan legislatif serta birokrasi untuk yang harus dilalui serta pandangan tentang pembangunan pendidikan masih menjadi polemik yang panjang. Maka sosialisasi/program multi years untuk peningkatan kesadaran dan pengetahuan kepada seluruh  komponen  merupakan  prioritas  yang  harus  terus menerus didorong untuk digalakkan dan diutamakan. Lebih utama, pelaksanaan program kesetaraan harus benar-benar dipahami oleh aparat pelaksana di lapangan; karena hal tersebut terkait dengan budaya konvensional yang masih melekat di masyarakat.
              Tidak dapat disangkal, bahwa pendidikan memerlukan biaya yang cukup besar, namun hal tersebut tidak ada artinya; bila output pendidikan yang berkualitas akan berperan dalam pembangunan secara keseluruhan. Peningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat yang akan dapat menggali potensi SDA / SDM negeri kita yang melimpah, membuka kesempatan pekerjaan, munculnya produk kreatif yang bernilai ekonomi tinggi dlsb.  Mungkin  atas dasar pemikiran seperti tersebut diatas, dan adanya UU No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) terdapat Pasal yang menyebutkan, bahwa kebutuhan biaya pendidikan dibebankan kepada masyarakat, maka pemerintah melakukan mobilisasi dana masyarakat melalui sekolah. akibatnya masyarakat tidak seluruhnya mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hanya golongan kelas sosial/ekonomi  tinggi  saja  yang  berpeluang  untuk  mendapat  kesempatan.
              Perkembangan terakhir perusahaan/lembaga non pemerintah menyadari, bahwa kemajuan sosial pendidikan masyarakat di sekitar lingkungan perusahaan akan berdampak positif terhadap perusahaan.  Mereka menyumbangkan sebagian keuntungannya melalui program Corporate Social Responsibility/CSR. Namun penyebaran CSR hendaknya tidak hanya terbatas bagi lingkungan dimana donatur berada, melainkan harus disalurkan secara adil dan merata. Khususnya kepada daerah yang tidak memiliki sumber alam yang mengahasilkan royalty, sehingga tidfak menimbulkan kesenjangan. Perubahan dan manfaat nyata/positif akan berdampak untuk kemajuan pembangunan pendidikan/mencerdaskan bangsa. 
Metode pembelajaran inovatif dalam segala  bidang diperlukan, terlebih sesuai  dengan berkembangnya kemajuan teknologi yang sangat cepat dan dinamis (abad komputer); kemampuan motorik halus/ menulis tetap/mutlak diperlukan.      Diharapkan metode inovasi  sebagai karya anak bangsa bukan hanya milik dari bangsa Indonesia, melainkan dapat dijadikan sumbangan bangsa Indonesia terhadap pendidikan Universal. Tidak kurang 1.250 bahasa di dunia menggunakan huruf latin, lebih 750 juta orang di dunia masih buta huruf (625,4 juta / 70% berada di negara-negara Sub Sahara Afrika, Asia Timur, Barat, Selatan Pasifik)
Tahun 2009 lebih dari 9 % penyandang buta huruf penduduk Indonesia, 200.000 unit Sekolah Dasar yang ada di indonesia dengan pola pembelajaran konvensional; merupakan beban yang sangat berat bila tidak dihadapi dengan serius. Berapa banyak anggaran yang akan dihemat dan kesempatan kerja yang akan terbuka ?
              PBB yang mencanangkan Education For All sejak tahun 1991, yang intinya ingin melihat sejauh mana para pemimpin negara memberikan hak pendidikan (dasar) bagi warganya (Indikator sebagai dasar penilaian : Pendidikan Dasar yang lengkap, kualitas input, kesetaraan gender dan keserasian). Hasil riset tahun 2005 di 14 negara Asia Pasifik (Bangladesh, Komboja, India, Nepal, Srilangka, Cina, Malaysia, Nepal, Pakistan, Papua Nugini, Filipina, Kep. Solomon, Thailand, dan Vietnam).
 Asia South Pacific Bureau for Adult Education (ASPBAE) dan Global Campaign for Education (GCE) telah memberikan nilai “E” (rentang peringkat A s/d F) untuk komitmennya pemerintah Indonesia dalam hal pembangunan pendidikan dasar. Jika dihitung dengan nilai maksimal 100, maka Indonesia hanya mendapat nilai 42.   Rangking Indonesia masih di bawah Bangladesh, Kamboja, India dan Vietnam. Malah lebih jauh terpuruk bila dibandingkan dengan Thailand, China, Malaysia dan Filipina. (Nani Zulminami/Executive Comittee Member ASPBAE/Koordinator Nasional Pekka (Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga).      
              Hendaknya penilaian rendah yang sesuai dengan kenyataan tersebut di atas, hendaknya dijadikan cambuk bagi bangsa kita untuk lebih serius membenahi dunia pendidikan.  Dengan dilibatkannya peran organisasi Kelompok ibu PKK/ rumah tangga, organisasi kemasyarakatan tingkat kelurahan/perdesaan (Karang Taruna/LSM), dalam program pendidikan/ pemberantasan buta huruf, penggalakkan budaya gemar membaca (dan pelatihan metode inovasi ) diharapkan akan meningkatkan kesadaran, menambah pengetahuan dan meningkatkan / optimalisasi peran serta masyarakat dalam rangka menunjang program pemerintah.     
Melibatkan/seluruh organisasi masyarakat, mahasiswa, pramuka, LSM dalam program strategis dan pelayanan pendidikan untuk daerah terpencil/wilayah perbatasan yang sulit terjangkau tenaga guru, dapat melibatkan peran prajurit TNI ( program TNI MD / TNI Manunggal Masuk Desa dan POLRI.  Walaupun keberadaan mereka sifatnya sementara, namun akan sangat bermanfaat bagi masyarakat, sekaligus diharapkan akan mengembalikan / meningkatkan citra TNI yang dikenal dengan slogan “berasal dari rakyat dan untuk rakyat”. 
Menghadapi masa yang akan datang yang berubah cepat dan dinamis serta  permasalahan yang multi kompleks, sangat diperlukan persiapan yang matang di berbagai sektor / bidang secara terpadu; termasuk pendidikan sebagai hulu/dasar yang akan merubah mental dan budaya positif, maju untuk menuju kearah perbaikan dalam bidang/sektor-sektor   lainnya.
              Bercermin kepada negara-negara maju yang sangat fokus pada dunia pendidikan telah menunjukkan kemajuan yang sangat berarti.  Basic pengetahuan dijadikan sebagai landasan pembangunan dan kemajuan teknologidan kreatifitas dan produktifitas akan menjadi andalan/keungguluan kompetitif.  Pengembangan produk-produk kreatif telah menunjukkan dan membawa masyarakatnya menjadi bangsa sejahtera, mandiri, dan negara yang disegani.    Karena hal tersebut masih diperlukan sosialisasi untuk meningkatan kesadaran dan peran, bahwa pembangunan pendidikan adalah tanggung jawab seluruh komponen bangsa.
              Khususnya dalam hal pemenuhan hak kaum perempuan di negara-negara miskin, berkembang masih sangat memerlukan perjuangan yang cukup panjang; diperlukan bukan hanya  kerja keras tapi juga berpikir keras.   Ketertinggalan kaum perempuan dalam berbagai aspek pembangunan akan merugikan suatu bangsa dalam jangka panjang.
Tidak disangkal, bahwa kaum perempuan dapat membuktikan kemampuan akademis, terlebih faktor kedekatan secara biologis/psikologis dengan generasi penerus; akan sangat menentukan  dalam kemajuan suatu bangsa.
Khususnya bangsa Indonesia, yang mempunyai tokoh perempuan yang terbukti telah berhasil mendobrak ketidak-adilan dan tokoh pendidikan, hendaknya menjadi dorongan semangat untuk bangkitnya pemberdayaan dan  kesetaraan gender.
 Slogan “Indonesia Bangkit” jangan hanya dijadikan “slogan kosong”  !  Ayo kita bangkit, tuliskan  nama  bangsa  dengan  tinta  emas !                               
(  Jakarta, 29  Mei 2010m,  I w a n   R  H. )

Lampiran : (diolah dari Statistik Pendidikan 2003, 2006, 2008, BPS, Susenas, KOR dan sumber lainnya (Internet/media lainnya).
Jumlah penduduk Indonesia th 2004/BPS       :    214.374.096 penduduk
Jumlah siswa didik (SD)                                  :    25.850849    siswa
Jumlah siswa SMP/sederajat                              7.466.458   siswa
Jumlah siswa SMU/sederajat                             5.051.640   siswa
Jumlah Sekolah Dasar seluruh Indonesia        :         200.000   unit SD
Jumlah penduduk di perkotaan dan perdesaan yang tidak/belum bersekolah :     
umur    7 - 12 tahun    :    2,09% x 214.374.096.   =   4.480.419 org    
umur  13 - 15 tahun    :    0.87% x 214.374.096    =    1.865.054 org    
umur  16 - 18 tahun    :    1 % x 214.374.096         =    2.143.741 org
Jumlah penduduk penyandang buta aksara usia produktif 15 – 45 tahun /laki-laki dan perempuan :
Tahun 2003 : 24,24% (atau rata-rata : 6,06% dari jumlah penduduk
Tahun 2006 : 34,72% (atau rata-rata : 8,68% dari jumlah penduduk
Tahun 2008 : angka sementara rata-rata 7,81%  dari jumlah penduduk dan
Tahun 2009 : diperkirakan cenderung mengalami kenaikan menjadi rata-rata di atas 9%
Kegagalan pemerintah dalam pemberantasan buta aksara antara lain : Kurangnya tenaga pengajar, kurangnya anggaran, perekonomian, daerah terpencil, kmemiskinan dan budaya masyarakat.
Pengamatan kami di lapangan selain faktor tersebut di atas, dapat ditambahkan faktor utama yang menjadi pokok masalah kegagalan pemberantasan buta aksara adalah :
-       Metode pembelajaran konvensional yang tidak efektif dan tidak efisien;
-       Program pemerintah belum memberdayakan/mengoptimalkan peran “Ibu”/ perempuan di lingkungan keluarga;
-       Pengawasan pelaksanaan tidak berjalan dengan baik (laporan penyimpangan anggaran pendidikan masih muncul di berbagai media) dan
-       Lemahnya metode analisis/identifikasi masalah, sehingga data menjadi tidak akurat/tidak sesuai dgn kondisi di lapangan.

Alasan tidak/belum bersekolah antara lain :- tidak ada biaya, - tidak suka/malu, - bekerja mencari nafkah,  - menikah/mengurus rumah  tangga,  - tidak diterima/dikeluarkan, - sekolah jauh, - merasa pendidikan cukup, - cacat dlsb (sakit/pikiran tidak mampu).
Jumlah penduduk di perkotaan dan perdesaan di Indonesia yang tidak bersekolah lagi /drop out di tingkat sekolah lanjutan Pertama & lanjutan Atas :
umur   7 - 12  tahun  :   1,49% x 214.374.096 org      =     3.194.174  org     
umur 13 - 15 tahun  :  18,13% x 214.374.096 org      =   38.866.023 org
umur 16 - 18 tahun  :  48,03% x 214.374.096 org      = 102.963.878 0rg
      
Informasi :

Laskar Duta Aksara                                         Yayasan Bunda Yessy
Jl. Sarikaso VII no. 10                                      Jl. Duren Tiga Raya no. 2 /depan Hotel KAISAR
(022) 2016828 /085888583335                       Pancoran – Jakarta Selatan
Sarijadi – Sukasari                                         
Bandung

CURICULUM VITAE
  Nama                           :    Iwan R. Hudaya
   Tempat , tgl lahir                  :    Garut, 29 mei 1952
   Alamat                                 :    Jl. Sarikaso VII no. 10 – Geger Kalong –  Bandung          
   Pendidikan                         :    SD, SMP dan SMA (1969 - 1971) di Garut                                                                                   :    Fak Ekonomi di Yogyakarta, Bandung
   Pengalaman Pekerjaan        :    ~ *  Swasta (1976 s/d 1982),
                                                           ~ *  Transmigrasi /petani (1982 - 1985)
                                                           ~ *   PNS/Dep.Perdagangan (Kab. Serang 1985-1988),
                                                           ~ *   Kanwil Depdag. Prop. Jabar (1988-1996)
                                                           ~ *   Dep. Perdagangan RI/Jakarta (1996 – 2008/pensiun)
  Hak Cipta                                :    Metode Gerak & Imajinasi (2005) Dep. Hukum & HAM
  Hobby                                     :    Membaca, berkebun, melukis/kesenian
  Kegiatan sekarang                   :    Relawan Sosial Kependidikan (“Yayasan Bunda Yessy dan   
                                                         “Laskar Duta Aksara”)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar